Selasa, 26 Mei 2020

Hari Kedua Lebaran

Tahun ini lebarannya beda. Dan, hari saat saya menulis ini adalah hari kedua lebaran. Ada sesuatu yang saya syukuri yang tahun ini tidak terjadi. Tidak ada kumpul bersama keluarga dari Bapak setelah solat Ied. Satu hal yang tidak nyaman untuk saya lakukan. Entahlah, setiap saya datang dan coba ada di tengah-tengah mereka, selalu saja perasaan itu muncul. Merasa agak asing. Hmm... tidak. Bukan hanya agak, saya coret kata agak. Saya merasa asing. Saya juga tidak tahu alasan tepatnya apa. Tapi, bisa jadi ini karena dari pengalaman masa kecil. Dulu waktu masih anak-anak, saya tidak terbiasa bermain atau habiskan waktu dengan mereka, keluarga Bapak. Saya lebih sering menghabiskan waktu dan bermain dengan keluarga jauh yang saya juga bingung saya dengan mereka bagaimana silsilah tepatnya di dalam hubungan kekeluargaan. Seringnya saya menyebutnya sepupu, walaupun saya tahu hubungannya bukan sepupu. Yah biar tidak ribet saja. Nah, pengalaman waktu kecil  ini lah yang menurut saya yang akhirnya terbawa sampai saya dewasa.

Selasa, 07 April 2020

Selamat ulang tahun, Ma

Hari ini hari ulang tahunnnya mama. Tadi sempat dikasi surprise kecil-kecilan. Adek beli donat 1 dos. Terus dikasi beberapa lilin kecil. Dan karena di saat bersamaan ada anaknya adeku yang cewek. Jadinya yang tadi tiup lilinnya dia.hehe.

Selamat ulang tahun, ma. Rasanya tidak perlu saya update di semua akun sosmed. Cukup saya ucapkan di sini. Lewat blog pribadi. Karena mengucapkan langsung di depan mu itu hal yang lucu dan tidak biasa di keluarga kita.

Semoga selalu sehat, ma. Selalu jadi tempat ceritaku yang baik. Semoga apa yang saya niatkan untuk mama dan papa bisa segera terwujud.

Rabu, 05 Februari 2020

Hujan dan Ponco

Sudah dua hari Poso langit paginya tidak biru. Awannya masih betah sama warna abu-abunya. Setiap pagi harus pakai jaket kalau ke kantor biar kemeja tidak bertambah motifnya akibat percikan dari ban kendaraan yang posisinya tepat di depan saya. Untuk sebagian orang, Poso dibilangnya lagi romantis. Hujannya tidak lebat tapi cukuplah bisa bikin baju jadi terasa lembab.

Tidak pernah gagal hujan membuat genangan dan membangkitkan kenangan. Apalagi kalau secara tidak sengaja telinga menangkap musik bernada lembut. Entah itu saat lagi numpang mobil teman atau sedang ngopi di kedai. Dan bisa juga dengan secara sengaja ingin dibuat makin hanyut dengan suasana hujan. Buka aplikasi steraming musik, kemudian putar lagu-lagu Banda Neira. Makin tenggelamlah di dalam kenangan yang seperti genangan.

Salah satu kenangan yang tidak pernah akan saya lupa saat hujan seperti ini adalah saat dibonceng naik motor sama papa. Bukan...bukan.. maksud saya bukan saat masih usia TK ataupun SD. Tapi, saat saya baru lulus kuliah lalu kemudian kerja di salah satu warnet tempat teman saya bekerja. Jadi, singkat cerita, waktu lulus kuliah saya belum dapat kerjaan. Alhamdulillah, teman saya menawarkan untuk  kerja di tempat dia bekerja. Katanya, partner dia jaga warnet di shift pagi sampai sore berhenti kerja. Makanya, bos dia minta tolong carikan penggantinya.

Belum seperti sekarang, dulu di rumah itu kendaraan yang ada hanya motor milik papa. Motor yang setiap hari dipakai keliling cari penumpang. Karena itu, saya lebih sering ke mana-mana kalau bukan jalan kaki, saya minta tolong diantar papa. Saat kerja di warnet tidak jarang kalau pergi pagi saya jalan kaki, pulangnya kadang dijemput papa.

Waktu itu Poso seperti sekarang, sedang suka basah-basahan. Kadang pagi, kadang sore. Seingat saya, dulu itu paling sering sore hujannya turun. Di sore itu hujan turun dengan semangatnya. Deras! Saya tidak bawa payung waktu itu. Terlintas di pikiran, "hajar pulang saja ah sekalian mandi hujan".

Saya ambil kantong plastik di laci paling atas meja operator.  Rencananya ingin masukkan hape saya di situ. Hape Samsung mini yang akhirnya bisa saya beli karena bantu selesaikan KTA seorang mahasiswi kebidanan. Bukan..bukan pacar. Jadi dia itu salah satu pelanggan warnet yang entah kenapa tiba-tiba tanya ke saya apa bisa bantu kerjakan KTA-nya. Setelah tanya-tanya sedikit soal KTA ke dia, saya nekat bilang iya. Pas dia tanya bayarannya berapa, karena saya tidak tahu harus kasi tarif berapa, akhirnya saya asal saja kasi harga. Yang penting di atas sejuta lah. Eh iya baru ingat, kalau dia masih belum bayar sisa 300-annya sampai sekarang. Ikhlas... ikhlas... ikhlas.

Masukkan hape ke kantong plastik warna merah, sudah. Bereskan semua catatan pemasukan di jam jaga saya juga sudah. Warnet juga sudah saya kunci karena teman yang shift sore sampai malam belum datang. Karena hujan deras ini sepertinya. Baru mau langkahkan kaki untuk jalan kaki pulang sambil nikmati hujan, ada motor berhenti tepat di depan saya. Papa.  Padahal saya tidak menghubungi (memang saat itu papa belum punya hape sih..hehe). Sambil ditutupi ponco biru tuanya, beliau menyuruh saya segera naik. Langsung saja saya gulung celana jins saya lalu naik ke motor. Sambil duduk manis di boncengan, saya menarik bagian belakang ponco beliau, mengatus posisinya agar bisa menutupi diri saya. Seperti membungkus setengah badan saya tepatnya kayanya. Posisi yang sama seperti saat SD dulu.

Ditutupi ponco seperti ini, sepanjang jalan hanya bisa lihat kaki sendiri yang sesekali terkena cipratan air dari jalan. Sambi lihat kaki sendiri, saya main tebak-tebakan di dalam pikiran sendiri. "Ini sudah sampai di mana ya? Rumah om yang rajin sekali menyapu tiap pagi itu sudah lewat tidak ya?"

Waktu SMA, rasanya malu sekali dibonceng seperti ini. Suka mikir nanti apa kata teman-teman saya lihat vokalis band dibonceng seperti ini. Tapi, makin ke sini, malu itu pudar. Merasa bego sendiri kenapa dulu bisa berpikir seperti itu. Sambil menebak-nebak ini sudah sampai di mana karena kok rasanya lebih lama dari biasanya, dalam hati saya bersyukur masih bisa merasakan apa yang saya rasakan waktu SD.

Sebagai manusia biasa, kadang suka muncul rasa gimana melihat teman-teman yang seusia saya sudah ada yang punya motor sendiri, bahkan sudah ada yang bawa mobil. Dan setiap rasa itu muncul, dalam satu tarikan napas, langsung saja rasa itu saya ubah jadi motivasi untuk diri saya sendiri. Berkata dalam hati, kalau nanti saya pasti akan punya mobil. Dan saat itu terwujud, papa adalah orang pertama yang saya ajak berkeliling. Mama juga dong. Apalagi saat hujan..hehe.

Selasa, 04 Februari 2020

Perbaiki Dit!

Januari sudah selesai. Memang gampang ya kalau hanya sekadar menyusun rencana. Ingin lakukan ini, ingin lakukan itu. Sudah menyusunnya sedemikian rupa, tapi ternyata malas masih bisa menaklukan saya. Mungkin saya saja yang memang belum yang sampe di niat sekali. Ternyata saya masih belum bisa konsisten. Aaaarrgh!

Ini masih Februari, 2020 belum habis, saya masih punya waktu untuk memperbaiki semuanya. Ternyata, memang tidak semudah menyusun niat ketika ingin ekskusi niat itu. Butuh perjuangan ekstra. Butuh kebiasaan yang lebih dari biasanya.

Di bulan kemarin, ikut 30 hari berceritanya hanya bisa sampai hari kedua belas. Tidak sama seperti tahun sebelumnya. Meskipun harus dobel bikin cerita, tapi bisa saya selesaikan sampe 30 cerita. Sepertinya harus lebih tegas lagi terhadap diri sendiri. Tidak gampang takluk sama malas. Susah memang. Tapi, saya harus yakin saya bisa.

Kadang, muncul pertanyaan di diri sendiri, kenapa mau berusaha untuk mewujudkan ini? Apa ada feed backnya? Apa untungnya?

Entahlah. Ada kesenangan tersendiri melihat hal-hal yang niat ingin dilakukan kemudian berhasil dilakukan. Jadikan semuanya bukan hanya sekadar niat saja. Entah hasil dari eksekusi itu baik atau tidak. Tapi, ketika hal itu sudah bisa saya lakukan, saya rasa itu sudah lebih dari cukup. Oke, semoga di Februari ini saya bisa memperbaikinya.

Minggu, 12 Januari 2020

Halo 2020!

Saya membuka tahun ini seperti tahun kemarin, ikut 30 hari bercerita. Dan, postingan awal saya di 2020 ini, saya ingin bagi salah satu cerita yang saya buat. Cerita ini saya buat untuk cerita di hari kesembilan.


-----------------

Saya lupa bagaimana detailnya. Seingat saya waktu SMA, awal-awal di kelas 3 IPA (yaa saya rasa saya perlu menyebutkan IPA-nya), guru meminta kami maju satu per satu. Kami diminta mengenalkan nama, tempat tanggal lahir, dan cita-cita. Sekali lagi saya lupa bagaimana detailnya. Bisa jadi ada selain ini dulu yang disebutkan.

Satu per satu siswa-siswa maju. Siswi-siswinya juga. Ada yang ingin jadi guru. Ada yang ingin jadi polisi... tentara. Ada yang ingin jadi dokter, dan lainnya. Sampai akhirnya giliran saya tiba. Dulu di SD, saya ingin jadi insinyur (berkat arahan nenek). Di SMP, ingin jadi dokter. Sekarang di SMA, berubah lagi. Salah satu alasannya karena saya tahu orang tua saya kemungkinan besar tidak akan mampu membiayai saya masuk kuliah kedokteran. Sekolah saja saya hampir putus di tengah jalan karena biaya.

"Saya ingin jadi artis. Punya band terkenal. Dikenal di mana-mana". Tanpa ragu saya mengatakan hal ini di depan teman-teman dan guru.

Bisa ditebak. Ada yang tertawa. Banyak malah. Yang lainnya hanya diam. Mungkin karena segan saja. Yah, saya santai saja menanggapinya. Malah ikut tertawa juga..hehe.

-------

Saya ingin jadi terkenal karena yakin hanya itu cara buat saya untuk bisa didengarkan dan dianggap. Didengarkan dan dianggap oleh semua anggota keluarga besar. Baik dari Bapak dan Ibu saya. Saya ingin sekali menyatukan semuanya. Menghilangkan batasan antara ini keluarga yang kaya, itu keluarga yang kurang kaya.

Pernah punya pengalaman waktu kecil (usia SD). Waktu itu lagi ikut main dengan sepupu-sepupu di rumah salah satu keluarga. Kemudian ada yang bertanya ke salah satu anak pemilik rumah itu. Saat itu usianya sudah remaja lah. Sambil menunjuk saya temannya bertanya.

"Itu keluargamu juga?"
"Oh bukan. Yang ini bukan keluarga. Yang lainnya itu saja yang keluarga".


-----------------

Saat menulis cerita ini, saya teringat lagi momen itu. Saat itu saya hanya bisa diam mematung. Berharap bukan saya yang ditunjuk. Tapi, faktanya jari telunjuk itu diarahkan tepat kepada saya.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...